Bila bertemu dengan batu biasa orang Dayak melewati begitu saja tetapi
bila bertemu dengan batu yang menyerupai sesuatu, entah kenyataan entah
dalam khayalannya, batu itu menjadi bagi dia orang atau benda yang telah
membatu. Kemudian ia menceriterakan bagaimana orang laki-laki atau
perempuan ini, kampung ini, pondok ladang ini, tumpukan kayu ini atau
perahu ini tiba-tiba pada suatu saat dijadikan batu oleh roh-roh sebagai
hukuman.
Itulah beberapa catatan saya tentang sejarah batu suku Dayak yang belum saya terbitkan.
Batu Bavui di daerah kami Mahakam merupakan salah satu batu yang
bernyawa dan sekaligus berfungsi sebagai tempat tinggal roh-roh. Menurut
ceritera imam wanita Devung Ajau kepada saya di Tering mulanya batu itu
merupakan seekor binatang yaitu seekor babi-ratu bernama Nidan Bavui.
Binatang kampung ini mempunyai keistimewaan mampu berbicara dengan orang
secara manusiawi. Tetapi pada suatu hari tertentu babi ratu ini
tiba-tiba dirobah menjadi suatu batu besar yang dahulu kala terletak di
dekat kampung Tukul.
Pembatuan ini terjadi dengan cara sebagai berikut:
Seorang Dayak Tunjung pergi berburu babi bersama beberapa orang
sekampung, bersenjata mandau dan sumpitan. Agak cepat mereka bertemu
dengan seekor babi yang sangat besar. Babi itu berkata kepada mereka
yang keheran-heranan:
“Jehima kamé nyatung ha akui meté panghut ha huhung akui, dang mulu akui.”
Artinya: “Besok kami akan berenang. Bila pada saat itu kepala saya
berpanghut (sepotong kayu berkeriting), janganlah membunuh saya.”
Baleéh – seoang Tunjung di antara mereka – menjawab:
“Sayu”, artinya “Baiklah.”
Pagi hari berikut ia pergi bersama teman yang lain. Pagi hari mereka
melihat bahwa di seberang sungai suatu kawanan babi besar mencempungkan
diri ke dalam air. Tidak memikirkan lagi apa yang terjadi dan apa yang
dijanjikan kemarin mereka naik perahu dengan cepat dan membunuh dengan
parang mereka seluruh kawanan.
Tidak lama kemudian Nidan bersama babi yang lain berbaring di tepi sungai dalam sakratulmaut karena kehilangan darah banyak.
Ketika Nidan menghabiskan napas terakhir ia merengek-rengek, hampir tak terdengar:
“Ika Baleéh terana ika ngering dengaah para ngenaap atang. Ika temoo
mepaang kelunaan arâ. Temo tevaak ayam tevaak uting, im ai kumaan dahâ.
Dahin kumaan kui lim. Ha kam sayu terana kam jaan nâ nunaan, jaan kam
sayu hamaan matê pah maang.” Artinya:
“Ah, kamu Baleêh! Bila kamu menerima berita adanya penyakit di daerah
ini datanglah dengan segera ke mari, panggillah orang banyak kemudian
sembelihlah ayam dan babi. Buatlah boneka sebagai “ganti-diri” dan
sediakanlah makanan bagi saya supaya kalian akan sembuh dengan cara itu.
Bila kalian tidak berbuat demikian kalian semua akan mati.”
Setelah berkata demikian Nidan meninggal. Semua orang yang hadir kejutan
ketika Nidan tiba-tiba berubah menjadi batu besar. Mulai dari saat itu
baik orang Dayak Tunjung maupun Dayak Bahau merasa diri wajib memenuhi
perintah ini supaya menjadi sembuh dari penyakit. Sampai sekarang ini
perintah itu dituruti dengan setia.
Bulan Juni 1931 duaratus orang Tunjung bersama limapuluh orang Dayak
Tering telah berkumpul di sungai Map di mana orang mempersembahkan babi
dan ayam kepada Batu Bavui; saya sendiri menyaksikan beberapa kali bahwa
peraturan adat ini ditaati dengan tekad baik di daerah Tunjung maupun
di sekitar stasi Misi kami Tering. Orang tidak tahu di mana batu itu
berada pada saat ini. Ia melarikan diri dari pinggir Mahakam dan orang
menduga kuat bahwa batu itu sekarang berada di suatu tempat di daerah
Tunjung.
(Tulisan past. P. Vossen, msf, 1931)
No comments:
Post a Comment