Monday, December 14, 2015

UPACARA KEMATIAN SUKU DAYAK TUNJUNG TOHOOQ-KWANGKAI

UPACARA KEMATIAN SUKU DAYAK TUNJUNG
TOHOOQ-KWANGKAI
A. Latar Belakang Sosial-Budaya Suku Dayak Tunjung
1. Lokasi Suku Dayak Tunjung
Suku Dayak Tunjung merupakan salah satu Anak Sub Suku Dayak yang mendiami sebuah tempat Dataran Tinggi yang disebut Dataran Tunjung yang berada di wilayah Kabupaten Kutai Barat, sebagian kecil di wilayah Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Suku Dayak Tunjung bermukim di wliayah Kecamatan Melak, Kec Barong Tongkok, Kec Sekolaq Darat, Kec Linggang Bigung, Kec Kembang Janggut, Kec Manoor Bulan, Kec Muara Pahuq, Kec Kota Bangun.
Wilayah yang didiami Suku Dayak Tunjung ini berhutan lebat, hutan primer yang banyak menghasilkan bermacam-macam kayu dan hasil hutan lainnya seperti : rotan, dammar, sarang burung wallet, bermacam-macam anggrek, buah-buahan dan sayur-sayuran. Sedangkan flora dan fauna seperti : orang utan, kera, babi, rusa, burung-burung dan ular.
2. Asal Usul Sejarah Suku Dayak Tunjung
Tidak ada data tertulis yang menyatakan asal usul Suku Dayak di Kalimantan, Suku Dayak Tunjung Khususnya dikarenakan Suku Dayak pada zaman dahulu tidak mengenal tulisan. Namun kita dapat mengetahuinya dari cerita-cerita rakyat yang diturunkan secara turun temurun.
Menurut Ceriteranya, Suku Dayak Tunjung ini berasal dari Khayangan, yaitu Dewa-Dewa yang menjelma kedunia sebagai manusia untuk memperbaiki dunia yang sedang rusak. Menurut Suku Dayak Tunjung, ama asli mereka Adalah Tonyooi Risitn Tunjung Bangka’as Malik’ng Panguru’q Ulak Alas yang berarti Suku Tunjung adalah pahlawan yang berfungsi sebagai dewa pelindung.
Suku Dayak Tunjung pada zaman dahulu memiliki sebuah bentuk Kerajaan namun hancur ketika masuknya pendudukan Jepang ke Indonesia. Menurut mereka, Raja-raja Suku Dayak Tunjung ini berasal dari langit dengan sang penciptanya yang disebut dengan Nayuk Sanghyang Juata Tonyooi. Akhir Dari Kerajaan Tunjung ini ialah bersama-sama dengan Kerajaan Kutai menggabungkan diri dengan Pemerintaha Indonesia.
Pada awalnya, seluruh masyarakat Suku Dayak Tunjung tinggal disebuah daerah yang bernama Sendawar (Sentawar dalam bahasa Dayak Tunjung). Namun pada zaman pemerintahan Jepang, karena perlakukan yang sangat menindas mereka, sehingga Suku Dayak Tunjung ini sangat tertekan sehingga mereka meninggalkan Kampung halaman dan menyebar kedaerah-daerah lain. Akibat penybaran itu terjadilah sedikit perbedaan logaat bahasa dan wujud kebudayaan, namun tidak begitu mendasar. Suku Dayak Tunjung setelah menyebar itu menyebabkan terwujudnya dengan sendirinya bermacam-macam jenis seperti :
a) Tunjung Bubut, mereka mendiami daerah Asa, Juhan Asa, baloq Asa, Pepas Asa, Juaq Asa, Muara Asa, Ongko Asa, Ombau Asa, Ngenyan Asa, Gemuhan Asa, Kelumpang dan sekitarnya.
b) Tunjung Asli, Mendiami daerah Geleo (baru dan Lama)
c) Tunjung Bahau, Mendiami Barong Tongkok, Sekolaq Darat, Sekolaq Muliaq, Sekolaq Oday, Sekolaq Joleq dan sekitarnya.
d) Tunjung Hilir, mendiami wilayah Empas, Empakuq, Bunyut, Kuangan dan sekitarnya.
e) Tunjung Lonokng, mendiami daerah seberang Mahakam yaitu Gemuruh, Sekong Rotoq, Sakaq Tada, Gadur dan sekitarnya.
f) Tunjung Linggang, mendiami didaerah dataran Linggang seperti Linggang Bigung, Linggang Melapeh, Linggang Amer, Linggang Mapan, Linggang Kebut, Linggang Marimun, Muara Leban, Muara Mujan, Tering, Jelemuq, lakan bilem, into lingau, muara batuq dan wilayah sekitarnya.
g) Tunjung Berambai, mendiami Wilayah hilir sungai Mahakam seperti Muara Pahu, Abit, Selais, Muara Jawaq, Kota Bangun, Enggelam, Lamin Telihan, Kemabgn janggut, Kelkat, dan Pulau Pinang
B. Maksud Dan Tujuan Upacara Kematian.
Pada dasarnya, Upacara Kematian ini dilaksanakan agar arwah orang yang telah meninggal diantarkan ke alam baka yang disebut Gunung Lumut dan hidup tentram ditempat tersebut tanpa mengganggu anak-cucu dan para keluarga yang ditinggalkan. Roh orang yang telah meninggal harus diantar ke Gunung Lumut yaitu dilakukan Upacara pengantaran arwah ke gunung Lumut.
Pada Upacara kematian ini dilaksanakan tarian yang disebut dengan tarian Calan’t Caruuq. Tarian ini dimaksudkan untuk membuka jalan ke Gunung Lumut bagi para roh yang telah meninggal agar tidak tersesat.
Suasana religious menguasai alam pikiran masyarakat Suku Dayak Tunjung. Kepercayaan akan kebahagian bagi Suku Dayak Tunjung di Puncak Gunung Lumut (kebahagiaan abadi) dan kepercayaan pada alam gaib serta hubungan manusia dengan roh-roh inilah yang yang membawa Suku Dayak Tunjung mengadakan Upacara Adat Kematian ini.
C. Persiapan Upacara
Persiapan upacara ini dimulai sesaat setelah ada orang meninggal yaitu dengan memukul tambur yang disebut dengan Neruak dan kemudian Gong yang disebut Titi. Setelah mendengar bunyi Titi, orang-orang kemudian berkumpul di rumah tempat orang meninggal. Orang yang memimpin Upacara ini dari awal hingga selesai adalah Penyentagih.
Perisapan lain adalah:
• Air : Air digunakan untuk memandikan mayat.
• Ayam : Ayam diambil darahnya yang digunakan untuk membuat titik-titik pada bagian tubuh orang yang meninggal
• Kepingan Uang Logam: Uang logam diletakan pada kedua belah mata, telapak tangan dan dadanya. Jadi jumlahnya ada 6 buah. Ini dilakukan jika yang meninggal adalah pria. Jika yang meninggal adalah wanita maka harus dipersiapkan anting-anting, gelang, kalung dan lain-lain.
• Kain Batik : Kain batik digunakan untuk pembungkus, banyaknya jumlah kain tergantung dari kemampuan orang yang meninggal, selain itu Tirai yang terbiat dari kain juga dipersapkan
• Lungun : Semacam peti mati yang terbuat dari pohon buah-buahan. (biasanya pohon Durian.)
• Seperangkat Alat Musik : alat music ini biasanya terdiri dari Sembilan buah gong, satu tambur dan satu set kelentangan. Alat music ini dibunyikan pada saat mayat dimasukkan dalam Lungun
• Makanan: makanan juga dipersiapkan di dalam Lungun sebagai bekal perjalanan menuju Gunung Lumut.
• Perlengkapan Pria : Mandau, Taji, Piring, Mangkok dan peralatan lain untuk pria
• Perlengkapan Wanita : Pisau, Piring, Mangkok, Perhiasan dan peralatan lain untuk wanita
D. Jalan Upacara Kematian Selengkapnya
Dalam menjalankan ritual Upacara Adat Kematian, Suku Dayak tunjung mengenal 2 jenis Upacara yang tidak harus dilaksanakan semua tergantung dari kemampuan masing-masing keluarga, jadi kedua jenis upacara itu merupakan satu kesatuan Upacara. Jenis-jenis upacar itu adalah :
1. Upacara Tohoq
Upacara Tohoq adalah upacara yang dilaksanakan bagi orang yang baru meninggal setelah enam/lima hari sesudah mayat dimasukan kedalam Lungun. Aturan lagu ini adalah bila yang meninggal perempuan, maka upacara ini dilaksanakan selama lima hari, tetapi jika yang meninggal pria upacara ini dilaksanakan selama enam hari.
Hari Pertama (Nau Neruak) : Kebiasaan Neruak, yaitu jika ada orang yang meninggal mereka memukul tambur sebagai tanda bahwa ada orang yang meninggal, kemdian disusul dengan titi, yaitu orang yang memukul gong secara sahut-sahutan seteleah nyawa lenyap dari jasad. Bersama denga berlupangnya seseorang kealam baka, maka akan terdengar suara ratap tangis keluarga yang ditinggali dimana ratap tangis ini berisikan kata-kata yang sedih didengar yang ditujukan kepada orang yang baru meninggal tersebut. Menagisi orang yang telah meniggal disebut Ngurik’ng. Setelah banyak orang yang datang, sebagian dari mereka mengambil air sungai, sementara itu gong berhenti berbunyi dan ketika mereka mulai memandikan mayat, gong dibunyikan kembali sampai upacara pemandian Mayat selesai dilakukan.
Setelah selesai memandikan mayat, orang mati diberi Patik, yaitu membuat titik-titik dengan darah ayam yang telah dipersiapkan sebelumnya pada muka, bagian badan, kedua lengan, dan kedua kakinya. Tanda Patik ini dipercaya agar roh-roh atau arwah-arwah lainnya dapat mengenali bahwa orang tersebut telah meninggal.
Mayat yang telah meniggal dibungkus dengan kain batik sebanyak 7 lapis, pada keluarga yang berada, jumlah kain ini dapat dikalikan 2 yaitu 14, 21, 27 lapis.
Hari Ke-2 (Nau Intakng) : hari ini deisbut juga dengan hari pembuatan Lungun (peti kubur yang terbuat dari batang kayu yang besar)
Hari Ke-3 (Nau Petamaq Bangkai) : Pada saat memasukkan mayat kedalam Lungun sebagai pengiringnya orang membunikan seperangkat alat music yang disesuaikan dengan irama yang khas bagi upacara kematian yang disebut dengan Dongkeq.
Hari Ke-4 (Malam Penyentagih) : penyentagih berarti orang yang khusus memimpin upacara untuk mengantar roh orang yang telah mati. Pada malam penyentagih ini, si penyentagih ini meriwayatkan orang yang meningal sejak ia kecil hingga orang itu mati kemudian diantar ke gunung lumut.
Hari Ke-5 (Nau Nyolook) : nylook berasal dari kata solook yang berarti lemang (beras ketan yang dibungkus dengan dau pisang. Pihak keluarga yang ditinggalkan membuat lemang, tumpiq dan lain2 untuk persediaan pada hari berikutnya yaitu untuk mengadakan acara syukuran bersama para tamu dan keluarga yang datang.
HariKe-6 (Tohoq/Param Apui) : hari ini merupakan puncak acara upacara adat kematian. Pada hari ini sanak saudara datang membawa bahan makanan seperti beras, beras ketan, ayam, babi dll yang bermaskud sumbangan bagi keluarga yang ditimpa kesusahan. Pada hari ini juga dilakukan pemadaman api, jadi segala api yang ada di didalam rumah maupun luar rumah harus dipadamkan. Menurut pandangan Suku Dayak Tunjung dengan dipadamkannya api berarti kematoan sudah berakhir dan tidak ada kelanjutan lagi.
Hari Ke-7 (Nau Ngelubakng) : hari ini disebut juga denga hari penguburan. Dimasyarakat suku Dayak Tunjung dikenal 2 jenis penguburan:
- Sistim Garai (Templaaq ), yaiut lungun dimasukan kedalam sebuah rumah kecil yang ukurannya disesuaikan dengan ukuran lungun. Tingginya kurang lebih 2 meter.
- Sistim kubur Lungun dimasukan kedalam tanah yang dibuat berdinding seperti pagar, kemudian ditutupi dengan papan dan ditimbuni tanah. Pada atasnya diberi batu atau nisan.
2. Upacara Kwangkai
Kwangkai berarti adat bangkai mai atau adat bagi orang yang telah lama meninggal. Maksud dari upacara Kwangkai adalah memindahkan tulang-tulang pemakaman terdahulu pada upacara tohooq ke pemakaman yang terlebih dahulu dibawa kedalam Lamin (rumah adat) dan diadakan upacara Kwangkai
Kwangkai adalah Upacara adat terbesar atau bisa dikatakan dengan sebutan Pesta Kematian karena pada saat ini seluruh masyarakat akan memenuhi kampung dalam suasana yang benarbenar pesta. Banyak orang yang berasal dari kampung lain datang untuk menghadiri acara ini.
Hari Ke-1 (Nau Nengaq Uman) : Hari pertama adalah hari persiapan dimana orang mulai menyemblih binatang-binatang korban seperti babi,ayam,serta membuat lemang, kue tumpiq, dll.
Hari Ke-2 sampai hari ke-6 (Tingaaq) : Tingaq merupakan suatu rangkaian nyanyian-nyanyian yang menceritakan perjalanan mereka mengantarkan roh kealam baka. Tingaq ini berlangsung sampai hari keenam dimana dilakukan setiap malam berturut-turut.
Hari Ke-7 (Nau Netak Biyoyak’ng) : netak Biyoyakng berarti hari dimana orang mulai memotong serat kayu atau jomok yang dipergunakan untuk ikat kepala pada waktu menari tarian khusus untuk tarian kematian, Ngerangkau. Ikat kepala ini biasanya berjumlah empat puluh buah. Ikat kepala ini dalam bahasa Dayak Tunjung adalah Laung Biyoyang. Selain ikat kepala, mereka juga mengenakan Ketau Putiiq (Tapeh Putih) dan Sapai Putiiq (Baju Putih).
Hari Ke-8 (Nau Pesagaaq Beluntak’ng ) : maksudnya adalah penyesuaian dengan patung yang telah dipilih (Belontakng).
Hari Ke-9 (Nau Molaaq Beluntak’ng) : Hari ini disebut juga dengan penanaman Beluntang di dalam tanah. Panjang beluntakng biasanya tiga sampai empat meter yang terbuat dari kayu besi (kayu ulin) dipahat mntuk menyerupai bentuk manusia dan binatang yang dihias denga ukiran-ukiran. Beluntang yang ditanam menghadap kebarat, sesuai dengan pandangan Dayak Tunjung arah barat adalah arah matahari terbenam sebagai lambang kematian. Beluntang berfungsi untuk menambatkan kerbau yang hendak di korbankan.
Hari Ke-11 : pada hari kesebelas tidak ada upacara khusus. Hari ini dipergunakan untuk mengadakan persiapan upacara selanjutnya.
Hari Ke-12 (Nau Kille Kelalungan) : kile kelalungan berarti menurunkan kelalungan , sebab menurut mereka bahwa ada roh yang ada pada tengkorak harus diantarkan ke Talian Tangkir LAngit dengan diadakannya upacara Kwangkai sedangkan roh yang ada pada badan disebut Pedaraaq yang harus diantar ke Gunung Lumut.
Hari Ke-13 ( Nau Nooq Pedaraaq) : Noq Pedaraq berarti menyambut roh yang datang dari Gunung Lumut. Jadi pada hari ini si penyentagih menyambut para roh-roh yang datang dari Gunung Lumut dengam membacakan mantera-mantera.
Hari Ke-14 (Nau Pekateq Kerewau) : nau pekateq kerewau berarti hari Penyemblihan Kerbau. Pada pagi hari kerbau sudah dimasukan kedalam Suncong (Kandang Kerbau yang berbentuk segitiga). Setelah selesai upacara penyentagih, kerbau dilepaskan dari dalam suncong untuk ditombak. Penmbakan pertama dilakukan oleh pemimpin penyentagih yang mewakili Pedaraq (roh-roh) lalu diikuti orang lain. Apabila kerbau sudah tidak berdaya maka orang-orang menahan kerbau dengan kayu untuk mengatur arah rebahnya kerbau, rebahnya kerbau harus sejajar dengan arah lamin dengan kepala bagian timur menghadap kebarat untuk menghindari malapetaka. Setelah kerbau mati, gong dipukul menandakan kerbau sudah mati. Setelah kerbau mati maka selesailah upacara adat Kwangkai.
Demikian lah seluruh jalannya Upacara kematian yang ada di Suku Dayak Tunjung. Kedua upaca ini merupakan sebuah kesatuan yang diyakini oleh mesyarakat Dayak Tunjung sebagai cara untuk mengantar arwah kerabat yang telah meninggal dunia kea lam baka yang mereka sebut Gunung Lumut. Namun pelaksanaan upacara ini semakin berkurang, dikarena kan sebagian besar masyarakat Dayak Tunjung sudah memeluk agama (Kristen dan Khatolik) sehingga pelaksanaan upacara semacam ini mulai dibatasi.

Di copy dari blog saya yang lain : UPACARA KEMATIAN SUKU DAYAK TUNJUNG TOHOOQ-KWANGKAI

No comments:

Post a Comment

Jenis Tulisan Yang paling kamu Suka??