UPACARA KEMATIAN SUKU DAYAK TUNJUNG
TOHOOQ-KWANGKAI
A. Latar Belakang Sosial-Budaya Suku Dayak Tunjung
1. Lokasi Suku Dayak Tunjung
Suku Dayak Tunjung merupakan salah satu Anak Sub Suku Dayak yang
mendiami sebuah tempat Dataran Tinggi yang disebut Dataran Tunjung yang
berada di wilayah Kabupaten Kutai Barat, sebagian kecil di wilayah
Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Suku Dayak Tunjung
bermukim di wliayah Kecamatan Melak, Kec Barong Tongkok, Kec Sekolaq
Darat, Kec Linggang Bigung, Kec Kembang Janggut, Kec Manoor Bulan, Kec
Muara Pahuq, Kec Kota Bangun.
Wilayah yang didiami Suku Dayak
Tunjung ini berhutan lebat, hutan primer yang banyak menghasilkan
bermacam-macam kayu dan hasil hutan lainnya seperti : rotan, dammar,
sarang burung wallet, bermacam-macam anggrek, buah-buahan dan
sayur-sayuran. Sedangkan flora dan fauna seperti : orang utan, kera,
babi, rusa, burung-burung dan ular.
2. Asal Usul Sejarah Suku Dayak Tunjung
Tidak ada data tertulis yang menyatakan asal usul Suku Dayak di
Kalimantan, Suku Dayak Tunjung Khususnya dikarenakan Suku Dayak pada
zaman dahulu tidak mengenal tulisan. Namun kita dapat mengetahuinya dari
cerita-cerita rakyat yang diturunkan secara turun temurun.
Menurut
Ceriteranya, Suku Dayak Tunjung ini berasal dari Khayangan, yaitu
Dewa-Dewa yang menjelma kedunia sebagai manusia untuk memperbaiki dunia
yang sedang rusak. Menurut Suku Dayak Tunjung, ama asli mereka Adalah
Tonyooi Risitn Tunjung Bangka’as Malik’ng Panguru’q Ulak Alas yang
berarti Suku Tunjung adalah pahlawan yang berfungsi sebagai dewa
pelindung.
Suku Dayak Tunjung pada zaman dahulu memiliki sebuah
bentuk Kerajaan namun hancur ketika masuknya pendudukan Jepang ke
Indonesia. Menurut mereka, Raja-raja Suku Dayak Tunjung ini berasal dari
langit dengan sang penciptanya yang disebut dengan Nayuk Sanghyang
Juata Tonyooi. Akhir Dari Kerajaan Tunjung ini ialah bersama-sama dengan
Kerajaan Kutai menggabungkan diri dengan Pemerintaha Indonesia.
Pada awalnya, seluruh masyarakat Suku Dayak Tunjung tinggal disebuah
daerah yang bernama Sendawar (Sentawar dalam bahasa Dayak Tunjung).
Namun pada zaman pemerintahan Jepang, karena perlakukan yang sangat
menindas mereka, sehingga Suku Dayak Tunjung ini sangat tertekan
sehingga mereka meninggalkan Kampung halaman dan menyebar
kedaerah-daerah lain. Akibat penybaran itu terjadilah sedikit perbedaan
logaat bahasa dan wujud kebudayaan, namun tidak begitu mendasar. Suku
Dayak Tunjung setelah menyebar itu menyebabkan terwujudnya dengan
sendirinya bermacam-macam jenis seperti :
a) Tunjung Bubut, mereka
mendiami daerah Asa, Juhan Asa, baloq Asa, Pepas Asa, Juaq Asa, Muara
Asa, Ongko Asa, Ombau Asa, Ngenyan Asa, Gemuhan Asa, Kelumpang dan
sekitarnya.
b) Tunjung Asli, Mendiami daerah Geleo (baru dan Lama)
c) Tunjung Bahau, Mendiami Barong Tongkok, Sekolaq Darat, Sekolaq Muliaq, Sekolaq Oday, Sekolaq Joleq dan sekitarnya.
d) Tunjung Hilir, mendiami wilayah Empas, Empakuq, Bunyut, Kuangan dan sekitarnya.
e) Tunjung Lonokng, mendiami daerah seberang Mahakam yaitu Gemuruh, Sekong Rotoq, Sakaq Tada, Gadur dan sekitarnya.
f) Tunjung Linggang, mendiami didaerah dataran Linggang seperti
Linggang Bigung, Linggang Melapeh, Linggang Amer, Linggang Mapan,
Linggang Kebut, Linggang Marimun, Muara Leban, Muara Mujan, Tering,
Jelemuq, lakan bilem, into lingau, muara batuq dan wilayah sekitarnya.
g) Tunjung Berambai, mendiami Wilayah hilir sungai Mahakam seperti
Muara Pahu, Abit, Selais, Muara Jawaq, Kota Bangun, Enggelam, Lamin
Telihan, Kemabgn janggut, Kelkat, dan Pulau Pinang
B. Maksud Dan Tujuan Upacara Kematian.
Pada dasarnya, Upacara Kematian ini dilaksanakan agar arwah orang yang
telah meninggal diantarkan ke alam baka yang disebut Gunung Lumut dan
hidup tentram ditempat tersebut tanpa mengganggu anak-cucu dan para
keluarga yang ditinggalkan. Roh orang yang telah meninggal harus diantar
ke Gunung Lumut yaitu dilakukan Upacara pengantaran arwah ke gunung
Lumut.
Pada Upacara kematian ini dilaksanakan tarian yang disebut
dengan tarian Calan’t Caruuq. Tarian ini dimaksudkan untuk membuka jalan
ke Gunung Lumut bagi para roh yang telah meninggal agar tidak tersesat.
Suasana religious menguasai alam pikiran masyarakat Suku Dayak Tunjung.
Kepercayaan akan kebahagian bagi Suku Dayak Tunjung di Puncak Gunung
Lumut (kebahagiaan abadi) dan kepercayaan pada alam gaib serta hubungan
manusia dengan roh-roh inilah yang yang membawa Suku Dayak Tunjung
mengadakan Upacara Adat Kematian ini.
C. Persiapan Upacara
Persiapan upacara ini dimulai sesaat setelah ada orang meninggal yaitu
dengan memukul tambur yang disebut dengan Neruak dan kemudian Gong yang
disebut Titi. Setelah mendengar bunyi Titi, orang-orang kemudian
berkumpul di rumah tempat orang meninggal. Orang yang memimpin Upacara
ini dari awal hingga selesai adalah Penyentagih.
Perisapan lain adalah:
• Air : Air digunakan untuk memandikan mayat.
• Ayam : Ayam diambil darahnya yang digunakan untuk membuat titik-titik pada bagian tubuh orang yang meninggal
• Kepingan Uang Logam: Uang logam diletakan pada kedua belah mata,
telapak tangan dan dadanya. Jadi jumlahnya ada 6 buah. Ini dilakukan
jika yang meninggal adalah pria. Jika yang meninggal adalah wanita maka
harus dipersiapkan anting-anting, gelang, kalung dan lain-lain.
•
Kain Batik : Kain batik digunakan untuk pembungkus, banyaknya jumlah
kain tergantung dari kemampuan orang yang meninggal, selain itu Tirai
yang terbiat dari kain juga dipersapkan
• Lungun : Semacam peti mati yang terbuat dari pohon buah-buahan. (biasanya pohon Durian.)
• Seperangkat Alat Musik : alat music ini biasanya terdiri dari
Sembilan buah gong, satu tambur dan satu set kelentangan. Alat music ini
dibunyikan pada saat mayat dimasukkan dalam Lungun
• Makanan: makanan juga dipersiapkan di dalam Lungun sebagai bekal perjalanan menuju Gunung Lumut.
• Perlengkapan Pria : Mandau, Taji, Piring, Mangkok dan peralatan lain untuk pria
• Perlengkapan Wanita : Pisau, Piring, Mangkok, Perhiasan dan peralatan lain untuk wanita
D. Jalan Upacara Kematian Selengkapnya
Dalam menjalankan ritual Upacara Adat Kematian, Suku Dayak tunjung
mengenal 2 jenis Upacara yang tidak harus dilaksanakan semua tergantung
dari kemampuan masing-masing keluarga, jadi kedua jenis upacara itu
merupakan satu kesatuan Upacara. Jenis-jenis upacar itu adalah :
1. Upacara Tohoq
Upacara Tohoq adalah upacara yang dilaksanakan bagi orang yang baru
meninggal setelah enam/lima hari sesudah mayat dimasukan kedalam Lungun.
Aturan lagu ini adalah bila yang meninggal perempuan, maka upacara ini
dilaksanakan selama lima hari, tetapi jika yang meninggal pria upacara
ini dilaksanakan selama enam hari.
Hari Pertama (Nau Neruak) :
Kebiasaan Neruak, yaitu jika ada orang yang meninggal mereka memukul
tambur sebagai tanda bahwa ada orang yang meninggal, kemdian disusul
dengan titi, yaitu orang yang memukul gong secara sahut-sahutan seteleah
nyawa lenyap dari jasad. Bersama denga berlupangnya seseorang kealam
baka, maka akan terdengar suara ratap tangis keluarga yang ditinggali
dimana ratap tangis ini berisikan kata-kata yang sedih didengar yang
ditujukan kepada orang yang baru meninggal tersebut. Menagisi orang yang
telah meniggal disebut Ngurik’ng. Setelah banyak orang yang datang,
sebagian dari mereka mengambil air sungai, sementara itu gong berhenti
berbunyi dan ketika mereka mulai memandikan mayat, gong dibunyikan
kembali sampai upacara pemandian Mayat selesai dilakukan.
Setelah
selesai memandikan mayat, orang mati diberi Patik, yaitu membuat
titik-titik dengan darah ayam yang telah dipersiapkan sebelumnya pada
muka, bagian badan, kedua lengan, dan kedua kakinya. Tanda Patik ini
dipercaya agar roh-roh atau arwah-arwah lainnya dapat mengenali bahwa
orang tersebut telah meninggal.
Mayat yang telah meniggal dibungkus
dengan kain batik sebanyak 7 lapis, pada keluarga yang berada, jumlah
kain ini dapat dikalikan 2 yaitu 14, 21, 27 lapis.
Hari Ke-2 (Nau
Intakng) : hari ini deisbut juga dengan hari pembuatan Lungun (peti
kubur yang terbuat dari batang kayu yang besar)
Hari Ke-3 (Nau
Petamaq Bangkai) : Pada saat memasukkan mayat kedalam Lungun sebagai
pengiringnya orang membunikan seperangkat alat music yang disesuaikan
dengan irama yang khas bagi upacara kematian yang disebut dengan
Dongkeq.
Hari Ke-4 (Malam Penyentagih) : penyentagih berarti orang
yang khusus memimpin upacara untuk mengantar roh orang yang telah mati.
Pada malam penyentagih ini, si penyentagih ini meriwayatkan orang yang
meningal sejak ia kecil hingga orang itu mati kemudian diantar ke gunung
lumut.
Hari Ke-5 (Nau Nyolook) : nylook berasal dari kata solook
yang berarti lemang (beras ketan yang dibungkus dengan dau pisang. Pihak
keluarga yang ditinggalkan membuat lemang, tumpiq dan lain2 untuk
persediaan pada hari berikutnya yaitu untuk mengadakan acara syukuran
bersama para tamu dan keluarga yang datang.
HariKe-6 (Tohoq/Param
Apui) : hari ini merupakan puncak acara upacara adat kematian. Pada hari
ini sanak saudara datang membawa bahan makanan seperti beras, beras
ketan, ayam, babi dll yang bermaskud sumbangan bagi keluarga yang
ditimpa kesusahan. Pada hari ini juga dilakukan pemadaman api, jadi
segala api yang ada di didalam rumah maupun luar rumah harus dipadamkan.
Menurut pandangan Suku Dayak Tunjung dengan dipadamkannya api berarti
kematoan sudah berakhir dan tidak ada kelanjutan lagi.
Hari Ke-7
(Nau Ngelubakng) : hari ini disebut juga denga hari penguburan.
Dimasyarakat suku Dayak Tunjung dikenal 2 jenis penguburan:
- Sistim
Garai (Templaaq ), yaiut lungun dimasukan kedalam sebuah rumah kecil
yang ukurannya disesuaikan dengan ukuran lungun. Tingginya kurang lebih 2
meter.
- Sistim kubur Lungun dimasukan kedalam tanah yang dibuat
berdinding seperti pagar, kemudian ditutupi dengan papan dan ditimbuni
tanah. Pada atasnya diberi batu atau nisan.
2. Upacara Kwangkai
Kwangkai berarti adat bangkai mai atau adat bagi orang yang telah lama
meninggal. Maksud dari upacara Kwangkai adalah memindahkan tulang-tulang
pemakaman terdahulu pada upacara tohooq ke pemakaman yang terlebih
dahulu dibawa kedalam Lamin (rumah adat) dan diadakan upacara Kwangkai
Kwangkai adalah Upacara adat terbesar atau bisa dikatakan dengan
sebutan Pesta Kematian karena pada saat ini seluruh masyarakat akan
memenuhi kampung dalam suasana yang benarbenar pesta. Banyak orang yang
berasal dari kampung lain datang untuk menghadiri acara ini.
Hari
Ke-1 (Nau Nengaq Uman) : Hari pertama adalah hari persiapan dimana orang
mulai menyemblih binatang-binatang korban seperti babi,ayam,serta
membuat lemang, kue tumpiq, dll.
Hari Ke-2 sampai hari ke-6
(Tingaaq) : Tingaq merupakan suatu rangkaian nyanyian-nyanyian yang
menceritakan perjalanan mereka mengantarkan roh kealam baka. Tingaq ini
berlangsung sampai hari keenam dimana dilakukan setiap malam
berturut-turut.
Hari Ke-7 (Nau Netak Biyoyak’ng) : netak Biyoyakng
berarti hari dimana orang mulai memotong serat kayu atau jomok yang
dipergunakan untuk ikat kepala pada waktu menari tarian khusus untuk
tarian kematian, Ngerangkau. Ikat kepala ini biasanya berjumlah empat
puluh buah. Ikat kepala ini dalam bahasa Dayak Tunjung adalah Laung
Biyoyang. Selain ikat kepala, mereka juga mengenakan Ketau Putiiq (Tapeh
Putih) dan Sapai Putiiq (Baju Putih).
Hari Ke-8 (Nau Pesagaaq Beluntak’ng ) : maksudnya adalah penyesuaian dengan patung yang telah dipilih (Belontakng).
Hari Ke-9 (Nau Molaaq Beluntak’ng) : Hari ini disebut juga dengan
penanaman Beluntang di dalam tanah. Panjang beluntakng biasanya tiga
sampai empat meter yang terbuat dari kayu besi (kayu ulin) dipahat mntuk
menyerupai bentuk manusia dan binatang yang dihias denga ukiran-ukiran.
Beluntang yang ditanam menghadap kebarat, sesuai dengan pandangan Dayak
Tunjung arah barat adalah arah matahari terbenam sebagai lambang
kematian. Beluntang berfungsi untuk menambatkan kerbau yang hendak di
korbankan.
Hari Ke-11 : pada hari kesebelas tidak ada upacara
khusus. Hari ini dipergunakan untuk mengadakan persiapan upacara
selanjutnya.
Hari Ke-12 (Nau Kille Kelalungan) : kile kelalungan
berarti menurunkan kelalungan , sebab menurut mereka bahwa ada roh yang
ada pada tengkorak harus diantarkan ke Talian Tangkir LAngit dengan
diadakannya upacara Kwangkai sedangkan roh yang ada pada badan disebut
Pedaraaq yang harus diantar ke Gunung Lumut.
Hari Ke-13 ( Nau Nooq
Pedaraaq) : Noq Pedaraq berarti menyambut roh yang datang dari Gunung
Lumut. Jadi pada hari ini si penyentagih menyambut para roh-roh yang
datang dari Gunung Lumut dengam membacakan mantera-mantera.
Hari
Ke-14 (Nau Pekateq Kerewau) : nau pekateq kerewau berarti hari
Penyemblihan Kerbau. Pada pagi hari kerbau sudah dimasukan kedalam
Suncong (Kandang Kerbau yang berbentuk segitiga). Setelah selesai
upacara penyentagih, kerbau dilepaskan dari dalam suncong untuk
ditombak. Penmbakan pertama dilakukan oleh pemimpin penyentagih yang
mewakili Pedaraq (roh-roh) lalu diikuti orang lain. Apabila kerbau sudah
tidak berdaya maka orang-orang menahan kerbau dengan kayu untuk
mengatur arah rebahnya kerbau, rebahnya kerbau harus sejajar dengan arah
lamin dengan kepala bagian timur menghadap kebarat untuk menghindari
malapetaka. Setelah kerbau mati, gong dipukul menandakan kerbau sudah
mati. Setelah kerbau mati maka selesailah upacara adat Kwangkai.
Demikian lah seluruh jalannya Upacara kematian yang ada di Suku Dayak
Tunjung. Kedua upaca ini merupakan sebuah kesatuan yang diyakini oleh
mesyarakat Dayak Tunjung sebagai cara untuk mengantar arwah kerabat yang
telah meninggal dunia kea lam baka yang mereka sebut Gunung Lumut.
Namun pelaksanaan upacara ini semakin berkurang, dikarena kan sebagian
besar masyarakat Dayak Tunjung sudah memeluk agama (Kristen dan
Khatolik) sehingga pelaksanaan upacara semacam ini mulai dibatasi.
Di copy dari blog saya yang lain : UPACARA KEMATIAN SUKU DAYAK TUNJUNG TOHOOQ-KWANGKAI
No comments:
Post a Comment